UI Gelar Diskusi Strategis Soal OECD, BRICS, dan Masa Depan Sumber Daya Nasional
loading...
A
A
A
“Pertanyaannya bukan hanya apakah kita bergantung pada Cina, tapi apakah kita juga secara aktif memfasilitasi ketergantungan itu,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar smelter di Indonesia menggunakan teknologi RKEF buatan Cina, yang bahkan dikategorikan sebagai national vital objects.
Dalam situasi overcapacity nikel global dan peralihan tren industri ke logam lain seperti litium, ia mempertanyakan strategi jangka panjang pemerintah: “Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari kerja sama ini, dan apa rencana kita ketika permintaan nikel mulai menurun?” Menurutnya, diversifikasi mitra dan reposisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global adalah kebutuhan mendesak yang belum terjawab.
Asra Virgianita, dosen Ilmu Hubungan Internasional UI sekaligus Vice Director CIReS, menutup diskusi dengan menekankan bahwa isu mineral kritis tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, ketimpangan struktural global, dan kepentingan nasional.
Ia mencatat bahwa walaupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menguasai sebagian besar sumber daya, kendali atas proses hilirisasi dan teknologi tetap didominasi oleh China.
Dalam konteks BRICS dan Kerja Sama Selatan-Selatan, ia mengingatkan bahwa solidaritas di antara negara berkembang kerap dibayangi oleh agenda masing-masing negara, sehingga tidak otomatis menjamin hubungan yang setara. Ia juga menyoroti kurangnya literatur dan kebijakan yang mengangkat isu mineral kritis dari sudut pandang negara berkembang, terutama dalam konteks ekonomi-politik, karena kajian selama ini masih terkonsentrasi di bidang keadilan sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu, ia mendorong agar Indonesia tidak hanya mengejar daya tawar ekonomi, tetapi juga memperjelas posisi strategisnya dan membangun kapasitas nasional agar tidak terus berada di sisi pasokan tanpa kendali atas nilai tambahnya.
Seminar ini menegaskan bahwa aksesi Indonesia ke OECD tidak sekadar persoalan teknis integrasi, melainkan titik krusial dalam menentukan arah kebijakan luar negeri, strategi ekonomi sumber daya, dan kemandirian nasional di tengah persaingan global atas mineral kritis.
Di tengah dinamika antara BRICS, dominasi China, dan standar Barat, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk memperkuat kapasitas domestik, membangun posisi tawar yang adil, dan menetapkan visi strategis jangka panjang atas masa depan sumber dayanya sendiri.
Dalam situasi overcapacity nikel global dan peralihan tren industri ke logam lain seperti litium, ia mempertanyakan strategi jangka panjang pemerintah: “Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari kerja sama ini, dan apa rencana kita ketika permintaan nikel mulai menurun?” Menurutnya, diversifikasi mitra dan reposisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global adalah kebutuhan mendesak yang belum terjawab.
Asra Virgianita, dosen Ilmu Hubungan Internasional UI sekaligus Vice Director CIReS, menutup diskusi dengan menekankan bahwa isu mineral kritis tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik, ketimpangan struktural global, dan kepentingan nasional.
Ia mencatat bahwa walaupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menguasai sebagian besar sumber daya, kendali atas proses hilirisasi dan teknologi tetap didominasi oleh China.
Dalam konteks BRICS dan Kerja Sama Selatan-Selatan, ia mengingatkan bahwa solidaritas di antara negara berkembang kerap dibayangi oleh agenda masing-masing negara, sehingga tidak otomatis menjamin hubungan yang setara. Ia juga menyoroti kurangnya literatur dan kebijakan yang mengangkat isu mineral kritis dari sudut pandang negara berkembang, terutama dalam konteks ekonomi-politik, karena kajian selama ini masih terkonsentrasi di bidang keadilan sosial dan lingkungan.
Oleh karena itu, ia mendorong agar Indonesia tidak hanya mengejar daya tawar ekonomi, tetapi juga memperjelas posisi strategisnya dan membangun kapasitas nasional agar tidak terus berada di sisi pasokan tanpa kendali atas nilai tambahnya.
Seminar ini menegaskan bahwa aksesi Indonesia ke OECD tidak sekadar persoalan teknis integrasi, melainkan titik krusial dalam menentukan arah kebijakan luar negeri, strategi ekonomi sumber daya, dan kemandirian nasional di tengah persaingan global atas mineral kritis.
Di tengah dinamika antara BRICS, dominasi China, dan standar Barat, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk memperkuat kapasitas domestik, membangun posisi tawar yang adil, dan menetapkan visi strategis jangka panjang atas masa depan sumber dayanya sendiri.
(nnz)
Lihat Juga :